Binar mata Itu
Binar Mata Itu
Kamis,
hari kelima dalam seminggu ini dibuka oleh mata kuliah Bahasa Inggris di kelas
saya. Semester tiga ini, mata kuliah Bahasa Inggris menempati posisi mata
kuliah favorit saya. Kenapa? Simpel saja, karena delapan mata kuliah lainnya adalah
mata kuliah yang berkenaan dengan jurusan yang saya ambil yakni Pendidikan
Agama Islam. Cukuplah mata kuliah ini menjadi pelipur kejenuhan setelah
seminggu bergulat dengan materi pendidikan.
Seperti
biasa, kami tiba di kelas sebelum dosen memasuki ruang kelas.Beberapa saat
menunggu, dosen yang dinanti akhirnya muncul juga. Perkenalkan, dosen paling kecedari
semua dosen yang pernah mengajar saya, haha. Sebut saja beliau Mrs. O. Dosen
muda, ayu, dan selalu tampil fashionable ini pernah bercerita bahwa beliau
baru saja mengikat janji suci dengan seorang dokter gagah –setidaknya begitulah
imajinasi saya- dan sedang menunggu-nunggu kehadiran anggota baru dalam
keluarga kecil mereka. Singkat cerita, awal pelajaran kita lalui tanpa hambatan
berarti sampai dosen kece saya ini terdiam dan menarik nafas dalam. Kami
yang sedang menyimak penjelasan beliau pun terdiam. Kemudian meluncurlah
penjelasan dari beliau setelah salah seorang dari kami bertanya perihal apakah
beliau baik-baik saja. Sambil tersenyum beliau menjawab.
“Yes, Iam fine. Tapi sebelumnya saya mohon
maaf, sebenarnya dari tadi saya mual. Tapi saya tahan, karena memang beginilah
saya melewati pagi hari akhir-akhir ini.”
Dalam hati saya yakin, kabar gembira akan
terdengar setelah ini. Dengan tampang polos, ketua kelas kami bertanya. “Lho,
kenapa Mrs?”
“Iam pregnant.” Jelas beliau singkat disusul senyum penuh
makna dari bibir calon ibu itu. Tak hanya itu, caranya menatap kami setelah itu
sugguh, saya baru melihat kebahagian yang tak bisa dibendung hingga sorot
matanya pun memancarkan itu. Menularkan kebahagiaan pada tiap diri kami.
Sontak seisi kelas riuh dengan ucapan selamat
dan tak lupa doa. Sepersekian detik saya terpana dengan binar yang terpancar
dari sorot mata beliau saat mengabarkan kehamilannya. Begitu bahagia.
Kami lalu menanyakan apakah beliau butuh
istirahat. Dan respon dari beliau sungguh di luar dugaan saya.
“Iam OK and I enjoy it.” Masih dengan senyum merekah dan binar yang tak kunjung redup. Allaah.. mungkin inilah yang
membuat kasih ibu begitu luar biasa. Karena saya melihat keikhlasan yang jelas
pada setiap penjelasan yang beliau berikan bahkan sebelum bayi itu lahir
kedunia.Mungkin kekuatan ini jugalah yang membuat seolah seorang Ibu mampu mengambilkan
bulan demi anaknya, seperti lirik lagu yang dulu sering didendangkan Ibu
menjelang tidur, hehe.
Selagi suasana kelas masih diisi dengan
berbagai pertanyaan seputar kehamilan beliau, saya malah terseret menuju
beberapa memori. Salah satunya adalah binar mata yang sama bersinarnya yang
saya temukan beberapa hari yang lalu. Ketika itu saya sedang iseng meng-update
kabar lewat salah satu media sosial yang berspesifikasi pada gambar, instagram.
Di sanalah saya melihat binar mata itu.Seorang kawan yang menikah setahun lalu
meng-upload fotonya yang sekarang tengah mengandung. Sungguh, bukan background,
kostum, apalagi efek kamera yang menjadi titik fokus saya. Yang senantisa membuat
okulus saya melebar demi melihat binar itu lebih jelas. Ya, binar mata di calon
ibu yang lain.
Masih di menit yang sama, saya terbentur oleh
sebuah pertanyaan yang tanpa permisi muncul di benak saya. Sudahkah saya membuat ibu saya memancarkan sorot mata
penuh kebahagiaan seperti itu selepas kelahiran saya di dunia ini?!Jangan-jangan
hanya sorot mata kesedihan, lelah, dan letih yang ada setelah kelahiran saya?!
Rabb, hati saya berdesir. Karena yang muncul adalah
kenangan dimana saya kecil yang nakal, manja, dan apapun itu yang membuat ibu
sedih. Setelah beranjak remaja hingga kini, masih ibu yang selalu mengalah. Teringat
pula kejadian beberapa hari lalu saat terjadi sedikit cekcok dalam keluarga
kami dan terngiang kembali kata-kata ibu saya.
“Nduk, sebesar apapun rasa marah dan kecewa seorang ibu pada anaknya, tak sebesar
kasih dan sabar seorang ibu pada buah hatinya.”
Segera kemuadian perasaan bersalah memenuhi
rongga dada saya, tenggorokan mulai terasa tercekat tanda jika saya berusaha
menahan tangis. Cepat saya mengerjapkan mata beberapa kali agar butiran bening
itu tidak tumpah.Topik mengenai keluarga, khususnya orang tua memang sangat
sensitif bagi saya.
‘Allahummaghfirlana dzunubana wa dzunuba waalidaina warham huma kama
rabbayani shagira’
Doa yang tertancap di otak saya sejak kecil
detik itu juga saya gumamkan. Saya hanya bisa berharap, nanti Allah akan
memberi kesempatan saya melihat binar mata itu lagi di mata Ibu saya. Amin ya
Rabb.
Sebelum saya kembali memfokuskan pikiran pada
mata kuliah pagi ini, sedikit sajak tertulis untuk mereka yang memiliki binar
kebahagian seorang ibu.
“Tuhan memang Maha Adil
Pada bintang, Ia ciptakan langit luas
Dimana bintang senatiasa bersandar padanya
sepanjang hari.
Tuhan juga Maha Bijak
Pada bumi, Ia dirikan cagak-cagak kokoh
Dimana bumi senantiasa berdiri tegak.
Padaku, semua itu berwujud Ibu
Turunan hawa berhati seluas langit
Yang menyadarkanku,
Fy.
10 Muharram 1436
Komentar
Posting Komentar