Pause
“Mbak, gimana keadaan Bali?”
“Sejauh ini keputusan Gubernur, Bali siaga covid 19. Tapi, Malang hari ini ditetapkan sebagai daerah transmisi lokal. Jadi yang ada riwayat perjalanan ke Malang otomatis menjadi ODR (orang dalam resiko) dan harus isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Kalau ada gejala ISPA dan Bapilnas, malah langsung menjadi ODP dan harus segera ke RS.” Jawab saya.
“Berarti Mbak Fay ODR?”
“Harusnya iya, walaupun aku udah sampe di Bali sebelum penetapan itu. Doain makanya, jangan jahat-jahat sama aku loh(?)”.
“Saling doa ya mbak. Btw, I will leave Solo soon mbak.”
“Really? Going back home?”
“Iya.”
Itu adalah potongan percakapan saya dengan salah satu rekan kantor beberapa hari yang lalu. Rasa sedih tiba-tiba menyeruak diantara percakapan itu, setidaknya bagi saya. Kepulangan rekan saya menyadarkan bahwa kami belum tahu kapan keadaan akan membaik dan kapan bisa bertemu lagi. Keputusan kampus yang memperpanjang masa daring, kebijakan pemerintah yang memperpanjang status darurat nasional, dan sederet kemungkinan untuk segera memberlangkukan lockdown di Indonesia memperkuat asumsi itu.
Banyangan aktifitas kantor dengan segala keceriaan dan ‘keriwehannya’ tetiba muncul bergantian. Mungkin terdengar berlebihan tapi, itulah yang saya rasakan.
Bagaimana tidak, pandemi ini ternyata mampu memposisikan saya dalam titik nol. Artinya, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Planning yang semula telah tersusun matang untuk menyelesaikan tugas kantor, bertemu adik-adik di asrama, hingga rentetan rencana penyelesaian tugas akhir seperti bertemu dengan dosen pembimbing dan jadwal mengunjungi perpustakaan untuk mencari bahan penelitian, ditambah lagi, deadline kepanitiaan yang semakin dekat. Semuanya tiba-tiba terhenti, seolah ada yang dengan sengaja menekan tombol pause. Menghentikan semuanya.
“Ya Allah, setidak berdaya ini hamba-Mu.” Runtuk saya dalam doa-doa. Pada akhirnya saya sadar, selama ini terlalu sombong untuk bisa melakukan semuanya. Lalai, bahwa saya hanyalah makhluk-Nya yang tidak memiliki daya upaya.
“Manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan.” -Adalah nasehat lama yang sering terlupakan.
Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu kapan ini semua akan berakhir. Kapan kondisi akan kembali seperti sedia kala. Kapan takdir menghadiahkan temu demi mengistirahatkan rindu. Semoga kelak, ketika benar-benar tiba masanya; kita telah menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang dekat dengan PenciptaNya. Pribadi yang langkahnya mengarah pada keridhoan TuhanNya serta, Allah ridhoi kita untuk menunaikan semua rencana. Amiin.
(28/03/2020)
Komentar
Posting Komentar